Pontianak (Suara Kalbar)- Program residensi Baku Konek resmi dibuka pada 15 September 2024 dan akan berlangsung hingga 17 September 2024 di Pontianak. Kolaborasi antara kolektif Susur Galur dari Pontianak dan Gulung Tukar dari Malang, yang diwakili oleh seniman Ajustin dan Riduwan, bertujuan untuk mengangkat kembali narasi kehidupan dan kebudayaan di pesisir Sungai Kapuas.
Pameran ini berlangsung di Pasar Tradisional Lantai Dua, Jalan Purnama 1, Pontianak, dan merupakan bagian dari program Manajemen Talenta Nasional (MTN) Bidang Seni Budaya yang diinisiasi oleh ruangrupa dan Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan (PLTK).
Seniman asal Tulungagung, Riduwan, menjelaskan bahwa program ini memberikan kesempatan kepada seniman untuk tinggal dan berkarya di wilayah tertentu.
“Kami dari Gulung Tukar mengikuti Program Baku Konek yang diinisiasi oleh Ruang Rupa dan Manajemen Talenta Nasional. Program ini memungkinkan seniman untuk pergi ke suatu wilayah, tinggal, dan berkegiatan di sana,” ujar Riduwan pada Minggu (15/9/2024).
Riduwan menambahkan, selama residensi, tim melakukan penelitian dan observasi lapangan terhadap kehidupan masyarakat di empat kampung pesisir Sungai Kapuas. Meskipun berada di wilayah urban, kampung-kampung tersebut masih memegang teguh tradisi nenek moyang.
“Kami tertarik untuk membicarakan soal air, karena tema ini sering dibahas akhir-akhir ini. Di sini, kami mengambil kata kunci yang sama untuk melihat bagaimana air ini memiliki hubungan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar,”ucapnya.
Selama residensi, Riduwan bersama tim melakukan riset lapangan dan observasi terhadap masyarakat yang tinggal di sepanjang pesisir Sungai Kapuas.
“Sungai Kapuas tidak hanya dikenal sebagai sungai terpanjang dan terbesar di Indonesia. Kami ingin memahami kehidupan sehari-hari masyarakat yang hidup bersisian dengan sungai ini,” jelasnya.
Mereka melakukan pemetaan dan mendalami empat kampung yang berada di pesisir Sungai Kapuas. Empat kampung ini dipilih karena, meskipun secara geografis berada di wilayah urban, keseharian masyarakat di sana masih mempertahankan tradisi turun-temurun.
Ajustin, salah satu seniman yang terlibat, mengungkapkan temuan menarik dari Kampung Kamboja, di mana pembangunan water front telah mengubah dinamika ekonomi masyarakat setempat. “Banyak warga yang kini membuka usaha baru seperti penyewaan perahu dan berjualan,” jelasnya.
“Di Kampung Kamboja, kami menemukan isu ekonomi yang menarik, di mana pembangunan water front telah mengubah perekonomian masyarakat. Banyak warga yang sekarang mulai berjualan dan menawarkan jasa, seperti penyewaan perahu,”ujarnya.
Sementara itu, di Kampung Dalam Bugis, tim menemukan bahwa Istana Kadriyah masih menjadi simbol kuat sejarah Kota Pontianak.
“Istana ini tidak hanya merupakan simbol, tetapi juga menggambarkan asal-usul Pontianak yang masih dipelihara oleh masyarakat setempat,” tambah Ajustin.
Di Kampung Kuantan Laut, modernisasi telah membawa perubahan sosial yang signifikan. Meskipun masyarakat masih menjaga tradisi leluhur, modernisasi mulai menggeser pola kehidupan mereka.
Kampung Banjar Serasan juga menjadi salah satu fokus riset tim. Tradisi masyarakat untuk mandi, mencuci, dan membersihkan peralatan rumah tangga di sungai masih sangat hidup.
“Di tempat asal kami di Tulungagung, tradisi seperti ini sudah mulai luntur. Namun, di Kapuas, kebiasaan ini masih sangat hidup hingga sekarang,”terangnya.
Pameran residensi ini memperlihatkan bagaimana seni, budaya, dan dinamika sosial masyarakat pesisir Sungai Kapuas saling berkaitan, memberikan perspektif mendalam tentang kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar sungai terbesar di Indonesia ini.
Source :